Matahari akan segera pergi, namun tidak melupakan
tugasnya untuk membuat langit menjadi indah. Tak ada senja tanpa matahari.
Septi dengan asik menikmati keindahan gradiasi warna dengan dominan warna
jingga. Duduk diteras rumah dengan pemandangan mengarah laut, menjadi tempat
paling tepat untuk melihat senja. Gilang hadir menghampirinya dengan membawakan
segelas teh manis hangat untuknya.
Gilang duduk tepat disampingnya
"
masih menunggunya ?" tanya Gilang dengan lembut, memberikan teh manis hangat kepada Septi dan
ia meminumnya dengan hikmat.
" tidak juga" kata Septi dengan datar
"
lantas mengapa kamu senang sekali menatap senja?" tanya Gilang
"
karena hanya saat itu aku merasa dia ada disini " kata Septi dengan wajah yang sendu
"
ah buang-buang waktu saja " kata Gilang.
Septi mencintai senja terutama warna jingga. Jingga adalah nama dari pria itu. Pria yang mengenalkannya pada filosofi senja dan membuatnya jatuh cinta
pada senja. Pria yang tak pernah kembali setelah acara pertukaran cincin itu.
pria yang membawa segenap cahaya matahari di hidupnya. kini langit Septi
hanya
berwarna hitam pikat, tak bercahaya dan bahkan bintang atau bulanpun sungkan untuk datang. Dia
mampu melihat tapi seperti didalam kamar tanpa jendela dan lampu.
"
mau tahu ada yang lebih indah dari sebuah senja ?" tanya gilang dengan nada serius
"
apa ?" kata Septi, menatap Gilang dengan bingung.
"pergantian
malam ke pagi" jawab Gilang dengan yakin
"
kamu yakin ?" tanya Septi
"
tentu, untuk melihat senja kau butuh waktu lama. kau harus menghabiskan banyak waktumu. dia itu sementara. untuk
keindahan sementara itu kau rela menghabiskan banyak waktu untuk menunggu"
jelas Gilang dengan tatapan yang tidak lepas dari Septi.
"itu
cinta, bukankah cinta memang harus menunggu ?" tanya Septi tetap pada
pendiriannya.
"tapi
bukankah cinta juga mengikhlaskan"sanggah Gilang
Septi diam untuk beberapa lama. Ada hantaman yang begitu keras pada hatinya yang membuat rasa sakit itu
menjalar kesemua tubuhnya. ia mengigit bibirnya akibat menahan sekuat tenaga
agar airmata tidak jatuh. Namun tiba-tiba butiran air itu turun dikelopak
matanya. Semakin deras,
membuatnya terlihat begitu menyedihkan. gilang menatapnya penuh rasa iba. Gilang tahu bahwa Septi belum mampu mengikhlaskan Jingga, meskipun kini ia berada disampingnya.
"kau
tidak lelah menangis terus ?" tanya Gilang, mengusap punggung Septi dengan lembut. Membuat Septi merasa tenang
"lelah,
tapi aku tak bisa lagi berkata tentang hatiku selain menangis" jawab Septi dengan suara yang serak. ia menyandarkan kepalanya dipundak Gilang.
Gilang memegang tangannya dan mengusapnya dengan lembut.
"
biarkan aku menjadi keindahan dari pergantian malam ke pagimu. akupun sama
bersifat sementara tapi aku membawamu dari kegelapan menuju terang. aku adalah
pagimu, yang kau tunggu ketika malammu buruk. aku adalah pagimu yang kau
inginkan selalu mempunyai cerita baru. aku adalah pagimu yang memunculkan
semangatmu. ijinkan aku membuatmu melihat pagiku dan cahayaku. tapi ada satu
permintaaanku ?" jelas gilang dengan lembut
"
apa ?" tanya Septi dengan menghapus airmatanya
"
bangunlah dari mimpimu dan bukalah perlahan kedua kelopak matamu. karena aku
sudah lama disini menjadi pagimu tapi kau terus terlelap dikala pagi. aku
mencintaimu bahkan sebelum kau menjadi istriku." kata Gilang dengan yakin, Septi memeluk hangat suaminya yang setia
disamping setelah 2 tahun pernikahannya.
Gilang menggantikan Jingga yang terenggut nyawanya
dalam perjalanan pulang dari acara pertunangannya dengan Septi. Jingga mengalami pendarahan hebat akibat kecelakaan Mobil. Gilang menikahi Septi
karena rencana pernikahan sebelumnya sudah di
rencanakan dengan matang. Gilang
melakukan semua itu bukan karena terpaksa, tapi Gilang
mencinta Septi bahkan sebelum Jingga mengenal Septi. Gilang sudah bersahabat dengan Septi semenjak mereka Sekolah Menengah
Pertama. Jika Septi
bertanya bahwa cinta memang harus menunggu jawabannya adalah benar, karena tak ada yang tahu kapan cinta tepat itu akan datang. cinta juga
mengikhlaskan sesuatu yang sudah pergi dan tak mungkin kembali.